Rabu, 05 September 2018

Gajah-Gajahan

Kesenian Gajah Gajahan


Kesenian tradisional Gajah-gajahan pada dasarnya adalah seni jalanan ( street arts ) yang berbentuk arak-arakan terdiri atas sekelompok penari, pemusik clan penyanyi. Tokoh utamanya adalah patung gajah yang digotong oieh dua orang yang berada di dalam ‘tubuh’ gajah tersebut. Di atas patung gajah tersebut, duduk anak laki-laki usia pra akil baliq yang didampingi oleh seorang pembawa payung. Sementara itu, agar si Gajah bisa berjalan sesuai arah, dia didampingi oleh orang yang bedugas untuk menuntun Gajah tersbut. Di belakang gajah, berbaris para penari clan penyanyi yang diiringi oleh alunan musik hadroh yang instrumennya terdiri atas jedor, kendang, kenong, kentrung, dan kecer.
Sebagaimana seni pertunjukan rakyat lainnya a( a beberapa versi cerita tentang Seni Gajahgajahan. Pertama, ini mengisahkan tentang perjalanan Raja brahah (cerita yang dimuat dalam Al Qur’an) yang hendak menyerang Ka’bah. Karenanya, dalam pertunjukan tersebut digambarkan seorang yang berpakaian raja/Kafilah sedang mengendarai seecor gajah yang diiringi oleh para prajuritnya. Versi lain, seni ini menggambarkan tentang perjalanan seorang tokoh pendiri kabuaten Ponorogo yang hendak menyebarkan agama Islam di kabupaten Ponorogo.
Lepas dan kontroversi di atas, nuansa Islam memang terlihat kental dalam seni gajah-gajahan Itu telihat dan alat musik yang dimainkan maupun jenis musiknya yang umumnya berisi puji-pujian clan sholawat nabi. Memang, kesenian ini awal mulanya tumbuh di lingkungan pesantren, biasanya dipertunjukkan pada perayaan han besar Islam. Konon, seni rakyat ini muncul clan mendapat sambutan ketika pamor seni Reog mulai luntur. P3da masa pemerintahan Orde Lama pertunjukan kesenian Reog sering digunakan untuk alat propaganda politik terutama di kalangan Partai Komunis Indonesia. Seiring dengan kejatuhan PKI, kesenian Reog Ponorogo pun sempat mengalam titik nadir clan kehilangan pamornya. Dan pada saat yang bersamaan, muncullah kesenian baru yang Iebih bernafaskan Islam
Walaupun kesenian tradisional gajah-gajahan pemunculannya relatif masih muda dibanding dengan kesenian Reyog, kesenian ini mendapat tempat di kalangan masyarakat Ponorogo. Bahkan, dalam perkembangannya kesenian ini tidak hanya diminati oleh kalangan pesantren, namun juga masyarakat luas. Kesenian gajah-gajahan dewasa ini dipentaskan tidak hanya pada hari-hari besar Islam tapi juga pada saat merayakan pesta pribadi seperti Sunatan ataupun pernikahan. Demikian juga, pada saat pesta masyarakat Iainnya yang banyak mengundang konsentrasi masa seperti upacara bersih desa, ulang tahun kemerdekaan , dsb.
Seiring dengan hal itu, pengaruh ‘Budaya Populer’ pun terlihat pada kesenian Gajah-gajahan. Misalnya dengan dimasukkannya tokoh Banci dan lagu Dangdut dalam Kesenian tradisional ini. Masuknya unsur-unsur tersebut bisa menjadikan suasana lebih hidup dan lebih mengundang penonton ketika kesenian tersebut dipentaskan. Demikian juga, remaja laki-laki yang duduk di atas Gajah yang semula berpakaian ala Padang Pasir yang menggambarkan tokoh kalifah, bisa dimodifikasi menjadi tokoh lain seperti penari Jathil – tokoh penani yang terdapat pada Reog. Iringan musik nya pun juga Iebih bervariasi, bisa musik Qosidah, dangdut dsb, menyesuaikan din dengari sift, si dan tempat di mana kesenian tersebut dipentaskan.
Memang, sebagai bagian dari kebudayaan, kesenian bersifat dinamis mengikuti perkembangan masyarakatnya. Demikian puIa Kesenian Gajah-gajahan. Apabila pada masa pemunculannya nuansa Islam clan padang pasir sangat lekat, pada saat sekarang identitas tersebut berbaur dengan Budaya masa kini (pop art) sehingga mungkin saja bila kesenian mi masih bisa eksis, pada sekian puluh tahun mendatang, kita melihat seorang wanita berpakaian bikini berlenggak-lenggok di atas gajah dengan diiringi lagu latin! Astaghafirullah alaziim.
– Keling
Kesenian yang ada sejak tahun 1942 ini bermaksud mengingatkan saat masyarakat merasakan penderitaan ketika dijajah ceh Bangsa Jepang. Dalam sajian tari, kesenian mengisahkan tentang dua Putri dan Kerajaan Ngerum yang diculik oleh Bagaspati dan Kerajaan Tambak Kehing. Namun akhirnya dapat diselamatkan oeh Jok0 Tawang dan Padepokan Waringin Putih.
– Jaran Thik
Kesenian Jaranan thik menggambarkan tentang perjalanan hidup manusia yang diwarnai dengan cobaan, ataupun kemampuan dalam melawan hawa nafsu. Balk yang berasal dan luar maupun dalam din manusia itu sendiri.
– Odrot
Merupakan kesenian peninggalan Jawa penjajahan Belanda yang hidup clan berkembang di Ponorogo. Kesenian ini merupakan seni pertunjukan musik yang menggunakan instrument pokok berupa terompet.
– Thekthur
Kesenian yang penyajiannya dalan musikal bentuk ini terbuat dan bambu dan awalnya merupakan sarana penggalang masa bagi masyarakat dalam menjaga keamanan Iingkunganny’adanpada perkembangannya dijadikan sarana membangunkan orang untuk makan sahur bagi yang menjaankan ibadah puasa.
– Terbangan
Kesenian ini hidup dan berkembang sebagai jenis yang Iebih banyak digunakan sebagal sarana kegiatan keagamaan an dengan nuansa Islami dalam bentuk lagu-lagu pujian ataupun sholawatan.
– Kongkil
Kesenian yang diperkirakan lahir tahun 1928 ini berupa instrument musik berupa seperangkat Angklung yang terbuat dan bambu iilihan. Awalnya yang ditampilkan berupa Iagu- lagu gending Jawa dan digunakan pada upacara adapt bersih desa maupun had besar, namun daam perkembangannya dipadau dengan instrument Reyog untuk kebutuhan iringan fragmen tari.
– Gong Gumbeng
Kesenian ini lahir saat transisi masuknya budaya keraton ke masyarakat pedesaan. Instrument terbuat dan bambu yang dibuat disesualkan dengan menyesuaikan nada gamelan. Kesenian ini juga digunakan pada upacara adat bersih desa maupun peringatan han-han besar dan dalam perkembangan juga untuk kebutuhan hiburan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar