Kesenian Gajah Gajahan
Kesenian tradisional Gajah-gajahan pada dasarnya adalah seni jalanan (
street arts ) yang berbentuk arak-arakan terdiri atas sekelompok
penari, pemusik clan penyanyi. Tokoh utamanya adalah patung gajah yang
digotong oieh dua orang yang berada di dalam ‘tubuh’ gajah tersebut. Di
atas patung gajah tersebut, duduk anak laki-laki usia pra akil baliq
yang didampingi oleh seorang pembawa payung. Sementara itu, agar si
Gajah bisa berjalan sesuai arah, dia didampingi oleh orang yang bedugas
untuk menuntun Gajah tersbut. Di belakang gajah, berbaris para penari
clan penyanyi yang diiringi oleh alunan musik hadroh yang instrumennya
terdiri atas jedor, kendang, kenong, kentrung, dan kecer.
Sebagaimana seni pertunjukan rakyat lainnya a( a beberapa versi
cerita tentang Seni Gajahgajahan. Pertama, ini mengisahkan tentang
perjalanan Raja brahah (cerita yang dimuat dalam Al Qur’an) yang hendak
menyerang Ka’bah. Karenanya, dalam pertunjukan tersebut digambarkan
seorang yang berpakaian raja/Kafilah sedang mengendarai seecor gajah
yang diiringi oleh para prajuritnya. Versi lain, seni ini menggambarkan
tentang perjalanan seorang tokoh pendiri kabuaten Ponorogo yang hendak
menyebarkan agama Islam di kabupaten Ponorogo.
Lepas dan kontroversi di atas, nuansa Islam memang terlihat kental
dalam seni gajah-gajahan Itu telihat dan alat musik yang dimainkan
maupun jenis musiknya yang umumnya berisi puji-pujian clan sholawat
nabi. Memang, kesenian ini awal mulanya tumbuh di lingkungan pesantren,
biasanya dipertunjukkan pada perayaan han besar Islam. Konon, seni
rakyat ini muncul clan mendapat sambutan ketika pamor seni Reog mulai
luntur. P3da masa pemerintahan Orde Lama pertunjukan kesenian Reog
sering digunakan untuk alat propaganda politik terutama di kalangan
Partai Komunis Indonesia. Seiring dengan kejatuhan PKI, kesenian Reog
Ponorogo pun sempat mengalam titik nadir clan kehilangan pamornya. Dan
pada saat yang bersamaan, muncullah kesenian baru yang Iebih bernafaskan
Islam
Walaupun kesenian tradisional gajah-gajahan pemunculannya relatif
masih muda dibanding dengan kesenian Reyog, kesenian ini mendapat tempat
di kalangan masyarakat Ponorogo. Bahkan, dalam perkembangannya kesenian
ini tidak hanya diminati oleh kalangan pesantren, namun juga masyarakat
luas. Kesenian gajah-gajahan dewasa ini dipentaskan tidak hanya pada
hari-hari besar Islam tapi juga pada saat merayakan pesta pribadi
seperti Sunatan ataupun pernikahan. Demikian juga, pada saat pesta
masyarakat Iainnya yang banyak mengundang konsentrasi masa seperti
upacara bersih desa, ulang tahun kemerdekaan , dsb.
Seiring dengan hal itu, pengaruh ‘Budaya Populer’ pun terlihat pada
kesenian Gajah-gajahan. Misalnya dengan dimasukkannya tokoh Banci dan
lagu Dangdut dalam Kesenian tradisional ini. Masuknya unsur-unsur
tersebut bisa menjadikan suasana lebih hidup dan lebih mengundang
penonton ketika kesenian tersebut dipentaskan. Demikian juga, remaja
laki-laki yang duduk di atas Gajah yang semula berpakaian ala Padang
Pasir yang menggambarkan tokoh kalifah, bisa dimodifikasi menjadi tokoh
lain seperti penari Jathil – tokoh penani yang terdapat pada Reog.
Iringan musik nya pun juga Iebih bervariasi, bisa musik Qosidah, dangdut
dsb, menyesuaikan din dengari sift, si dan tempat di mana kesenian
tersebut dipentaskan.
Memang, sebagai bagian dari kebudayaan, kesenian bersifat dinamis
mengikuti perkembangan masyarakatnya. Demikian puIa Kesenian
Gajah-gajahan. Apabila pada masa pemunculannya nuansa Islam clan padang
pasir sangat lekat, pada saat sekarang identitas tersebut berbaur dengan
Budaya masa kini (pop art) sehingga mungkin saja bila kesenian mi masih
bisa eksis, pada sekian puluh tahun mendatang, kita melihat seorang
wanita berpakaian bikini berlenggak-lenggok di atas gajah dengan
diiringi lagu latin! Astaghafirullah alaziim.
– Keling
Kesenian yang ada sejak tahun 1942 ini bermaksud mengingatkan saat
masyarakat merasakan penderitaan ketika dijajah ceh Bangsa Jepang. Dalam
sajian tari, kesenian mengisahkan tentang dua Putri dan Kerajaan Ngerum
yang diculik oleh Bagaspati dan Kerajaan Tambak Kehing. Namun akhirnya
dapat diselamatkan oeh Jok0 Tawang dan Padepokan Waringin Putih.
– Jaran Thik
Kesenian Jaranan thik menggambarkan tentang perjalanan hidup manusia
yang diwarnai dengan cobaan, ataupun kemampuan dalam melawan hawa nafsu.
Balk yang berasal dan luar maupun dalam din manusia itu sendiri.
– Odrot
Merupakan kesenian peninggalan Jawa penjajahan Belanda yang hidup clan
berkembang di Ponorogo. Kesenian ini merupakan seni pertunjukan musik
yang menggunakan instrument pokok berupa terompet.
– Thekthur
Kesenian yang penyajiannya dalan musikal bentuk ini terbuat dan bambu
dan awalnya merupakan sarana penggalang masa bagi masyarakat dalam
menjaga keamanan Iingkunganny’adanpada perkembangannya dijadikan sarana
membangunkan orang untuk makan sahur bagi yang menjaankan ibadah puasa.
– Terbangan
Kesenian ini hidup dan berkembang sebagai jenis yang Iebih banyak
digunakan sebagal sarana kegiatan keagamaan an dengan nuansa Islami
dalam bentuk lagu-lagu pujian ataupun sholawatan.
– Kongkil
Kesenian yang diperkirakan lahir tahun 1928 ini berupa instrument musik
berupa seperangkat Angklung yang terbuat dan bambu iilihan. Awalnya yang
ditampilkan berupa Iagu- lagu gending Jawa dan digunakan pada upacara
adapt bersih desa maupun had besar, namun daam perkembangannya dipadau
dengan instrument Reyog untuk kebutuhan iringan fragmen tari.
– Gong Gumbeng
Kesenian ini lahir saat transisi masuknya budaya keraton ke masyarakat
pedesaan. Instrument terbuat dan bambu yang dibuat disesualkan dengan
menyesuaikan nada gamelan. Kesenian ini juga digunakan pada upacara adat
bersih desa maupun peringatan han-han besar dan dalam perkembangan juga
untuk kebutuhan hiburan.