Jumat, 07 September 2018

Telaga Ngebel

Telaga Ngebel

 
Telaga Ngebel adalah sebuah danau alami yang terletak di Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo. Kecamatan Ngebel sendiri terletak di kaki gunung Wilis. Telaga Ngebel terletak sekitar 30 KM dari pusat kota Ponorogo atau yang terkenal dengan nama Kota Reog. Keliling dari Telaga Ngebel sekitar 5 KM. Dengan suhu antara 20 - 26 derajat celcius, suhu dingin nan sejuk membuat pengunjung makin nyaman mengunjungi Telaga Ngebel. Selain Reog, Telaga Ngebel merupakan salah satu andalan wisata yang dimiliki Kabupaten Ponorogo. Pemasok air bagi Telaga Ngebel terdiri dari berbagai sumber. Sumber air yang cukup deras berasal dari Kanal Santen. Selain itu, juga terdapat sungai yang mengalirinya, di mana dibagian hulu sungai terdapat air terjun yang diberi nama Air Terjun Toyomarto.

LegendaTelaga Ngebel dihubungkan dengan kisah seekor ular naga bernama “Baru Klinting“. Ular tersebut merupakan jelmaan dari Patih Kerajaan Bantaran Angin. Kala itu Sang patih sedang bermeditasi dengan wujud ular, dan secara tak sengaja ada seorang warga yang membawa ular jelmaan tersebut ke desa.[1]
Sesampainya di desa, ular jelmaan tersebut hendak dijadikan makanan karena ukuran tubuhnya yang besar. Sebelum dipotong ular tersebut secara ajaib menjelma menjadi anak kecil, yang kemudian mendatangi masyarakat dan memutuskan membuat sayembara.
Sang bocah kemudian menancapkan lidi di tanah, versi yang lainnya menyebutkan bahwa yang ditancapkan adalah centong nasi. Namun tidak ada yang berhasil mencabutnya. Bocah ajaib itulah yang berhasil mencabutnya. Dari lubang bekas ditancapkannya lidi atau centong tersebut keluarlah air yang kemudian menjadi mata air yang menggenang hingga membentuk sebuah Telaga. Oleh penduduk desa sekitarnya, telaga tersebut diberi nama telaga Ngebel, artinya telaga yang mengeluarkan bau menyengat.
Legenda Telaga Ngebel ini konon terkait erat dan memiliki peran penting dalam sejarah Kabupaten Ponorogo. Konon salah seorang pendiri Kabupaten ini yakni Batoro Kantong. Sebelum melakukan syiar Islam di Kabupaten Ponorogo, Batoro menyucikan diri terlebih dahulu di mata air, yang ada di dekat Telaga Ngebel yang kini dikenal sebagai Kucur Batoro.

Kamis, 06 September 2018

FRNP

FRNP (Frstival Reog Nasional Ponorogo)


Festival Reog Ponorogo adalah kegiatan tahunan yang diselenggarakan Setiap menjelang Bulan Suro atau Bulan Muharam sama sepert Festiva Tabuik di Pariaman, yakni saat menyambut tahun baru Islam, masyarakat Ponorogo Jawa Timur selalu menggelar Festival Reog Nasional di Alun-Alun Ponorogo dalam rangka Grebeg Suro. Reog lahir di ponorogo dan kini kesenian tersebut telah dikenal oleh dunia. Festival ini diikuti oleh berbagai peserta dari seluruh Indonesia. Diantaranya ada dari Jogja, Gunungkidul, Madiun, Malang, Kediri, Surabaya dan daerah lainnya.

Kabupaten Ponorogo kerap dijuluki sebagai Kota Reog atau Bumi Reog. hal ini dikarenakan, di daerah ponorogo lahir kesenian Reog yang kini telah mendunia. Kesenian Reog menjadi ikon kebanggaan masyarakat Ponorogo dan hingga kini masih terus dilestarikan oleh masyarakat setempat.
Menjelang Bulan Suro, masyarakat Ponorogo Jawa Timur rutin menggelar Festival Reog Nasional di Alun-alun Ponorogo dalam rangka pesta rakyat Grebeg Suro. Biasanya, perayaan tersebut dilangsungkan setiap tahun. dan tahun ini kemungkinan akan dihelat pada di bulan Oktober. Festival Reog ini diikuti oleh berbagai peserta dari seluruh wilayah di Indonesia. Ada yang berasal dari Madiun, Kediri, Yogyakarta, Gunung Kidul, Jember, Wonogiri, Surabaya dan Malang.

Lebih dari 21 kelompok seni Tari Reog unjuk kebolehan dalam keterampilan yang disertai dengan belasan seniman Reog dari berbagai pelosok tanah air. Dengan Festival ini, selain bersilaturahim, mereka juga diharapkan untuk bisa saling bertukar ilmu dan pengalaman masing-masing. Pementasan Tari Reog dibawakan bergantian sesuai urutan acak selama lima hari dalam serangkaian kegiatan kebudayaan tersebut. Penilaian pada setiap penampilan pesertanya, didasarkan pada keterampilan menari Reog, koreografi yang menarik, dan kekompakan. Festival di Ponorogo ini menjadi lebih meriah sejak para pesertanya bersaing untuk memperebutkan Piala Presiden.
Sebagaimana pada malam puncak pagelaran Festival Reog Nasional di tahun-tahun sebelumnya, dimana perhelatannya begitu megah bak konser kelas dunia. Tahun ini pun penataan panggung, tempat duduk penonton, serta puluhan fotografer dan wartawan yang meliput kegiatan ini, semuanya dikemas secara profesional. Sekarang ini, Festival Reog Ponorogo telah merambah menuju kancah Internasional. Terlebih, setelah UNESCO telah mengakui Kesenian Reog sebagai salah satu warisan budaya dunia yang patut untuk dilestarikan bersama.

Larung Sesaji

Larung Sesaji

Larung sesaji dilakukan sore hari stelah acara kirab pusaka di pusat kota Ponorogo kami bergegas menuju telaga ngebel. Sesampai di pinggir telaga udara terasa dingin khas hawa pegunungan, tidak disangka banyak sekali pengunjung yg sudah memadati alun-2 kecamatan ngebel yang lokasinya berdekatan dengan dermaga ngebel. Pagi tadi menjelang malam 1 Suro, warga Ngebel mengadakan upacara ritual. Seekor kambing dengan bulu warna putih tidak putus melingkar bagian tengah tubuhnya atau yang disebut dengan kambing kedit telah disembelih.

Darah kambing yang ditampung di kain putih ini dihanyutkan ke muara telaga. Bagian kepala akan dilarung ke telaga malamnya bagian kaki kambing akan ditanam di empat tempat yg dianggap keramat.
Sementara itu seorang warga akan mengemban tugas penting. Ialah pembawa sesaji ke tengah telaga dalam ritual yang akan berlangsung nanti malam.Konon, tidak sembarang orang bisa membawa dan berenang menghayutkan sesaji ke tengah telaga.
Warga itu sendiri mengaku tidak punya ilmu penangkal apapun selain mahir berenang. Lelaki tiga anak ini sehari-harinya bekerja sebagai pengawas pengairan di Ngebel.
Bila ada orang yang tenggelam di Ngebel, biasanya beliau yang diminta mencari. Tak heran ia terus dipercaya sebagai pembawa larungan sesaji.
Disepanjang dermaga Telaga Ngebel, warga memasang ribuan dian terbuat dari botol bekas yg di isi minyak tanah diberi sumbu dari kain bekas sebagai penerangan disekitar telaga.

Kami sampai di aula kecamatan tempat larung akan dimulai. Sekitar 40 sesepuh Ngebel berkumpul. Mereka akan tirakatan. Dalam acara ini, sejenis matra Jawa kuno dibaca bersama-sama.
Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi larung saji di Ngebel ini berlangsung.
Seusai tirakatan, saatnya menuju danau. Penerangan yang digunakan seadanya menambah aroma mistis di tempat ini. Apalagi udara sangat dingin. 
Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah para sesepuh untuk mengelilingi danau menanam empat potongan kaki di tempat-tempat yg sudah ditentukan.
Di lanjut ribuan obor mulai dinyalakan dan berkumpul di lapangan Kecamatan berlanjut berjalan mengitari telaga.
Tradisi menyalakan obor saat malam 1 Suro ini sudah berlangsung lama. Menambah suasana mistis yang sudah terasa sejak pagi.
Ribuan muda mudi dan para tetua berjalan kaki membawa obor berjalan mengitari telaga, terlihat suasana yg sangat berbeda tampak di seputar telaga terlihat lekuk lekuk telaga tegambar dengan jelas dan begitu cantiknya. 

Setelah mengitari dan menanam syarat, upacara larung sesaji  dimulai. 
Pembawa obor yang tiba di dermaga turun di kanan kiri nya sebagai penerangan untuk petugas pembawa sesaji potongan kepala kambing yang sudah dimasak dijadikan sesaji, dihanyutkan ke tengah telaga dibawa petugas. 
Malam yang gelap membuat pandangan ke tengah telaga tidak begitu jelas. Semua yang hadir malam ini menanti kepulangan petugas pembawa.  
Padahal selain ada kisah angker yang membayangi, air di telaga sungguh amat dingin. 
Tepat setelah sesaji di larung terlihat kembang api bermunculan disekitar dermaga sebagai tanda pergantian tahun, tampak sorak sorai pengunjung terlihat begitu meriahnya.

 
  
 

Kirab Pusaka

Kirab Pusaka

    Ada awal dan ada akhirnya, inilah agenda tahunan Kabupaten Ponorogo di bulan Muharram (Suro). Jika di awal Suro diadakannya kirab pusaka dari kota lama menuju kota baru, perayaan Suro di Kabupaten Ponorogo berakhir ditandai dengan acara Tutup Grebeg Suro Ponorogo yang dipusatkan di Lapngan Bantarangin, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo. Dalam acara ini digelar kirab pusaka dan pawai budaya.

   Acara yang juga disebut Tutup Grebeg Suro Bantarangin ini, diawali dengan rekonstruksi keberangkatan PrabuKelonoSiswoHandono atau KelonoSewandono menuju Kediri untuk melamar Putri Kerajaan Kediri, Putri Songgolangit. Raja Kerajaan Wengker Kedua ini, dihadirkan lengkap dengan pasukan putrid pemanah, ksatria tombak serta pasukan berkuda yang dipimpin Patih tercintanya, PujanggaAnom atau lebih dikenal sebagai BujangGanong. Kegiatan ini digelar sebagai upaya pelestarian budaya. Juga untuk mengingatkan kembali warga Kabupaten Ponorogo tentang asal tari, yakni: tari Reyog Ponorogo yang sudah terkenal di seluruh dunia. Dari sinilah, Kerajaan Wengker Kedua yang dipimpin oleh PrabuKlanaSewandono.

   Dalam kirab pusaka tersebut, ada tiga replica pusaka yang di bawa berkeliling daerah sekitar Kecamatan Kauman. Yaitu: Ageman Probo Swoso, Topeng Kencono, dan Cemeti Samandiman. Pusaka yang terakhir adalah senjata andalan PrabuKelonoSiswoHandono untuk melawan hewan buas dan musuhnya, seperti yang tertuang dalam tari Reyog Ponorogo.

   Kirab sendiri juga menandai keberadaan Pemerintahan Kabupaten Ponorogo yang sempat dua kali boyong. Perpindahan pertama, dari sebelah timur atau Kutho Wetan ke Kutho Tengah, yang sekarang menjadi alun-alun. Sedangkan perpindahan kedua, adalah dari Kutho Tengah ke Kutho Kulon, atau daerah Sumoroto. Lokasi ini adalah hutan bernama Wengker, yang juga disebut BantarAngin.

   Dengan mengetahui sejarah yang menjadi cagar budaya, Pemerintah Kabupaten Ponorogo berharap warga bisa lebih mencitai daerahnya. Juga mencintai kebudayaan dan keseniannya. Tidak kurang dari 120 ekor kuda dikerahkan untuk mengangkut para tokoh replica prajurit, pembesar Kerajaan Wengker, serta Bupati dan wakilnya, jajaran Forpimda hingga para kepala dinas dan camat yang turut berkeliling dengan menggunakan dokar hias.

   Selain itu, warga juga turut berpartisipasi dalam pawai budaya ini. Kebanyakan adalah siswa, mulai Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), dan lembaga keuangan seperti koperasi hingga pengelola toko di wilayah Kecamatan Kauman. Ribuan warga tampak antusias menyaksikan perhelatan ini. Mereka berjajar di sepanjang jalur yang dilewati meski sebelum kirab hujan deras mengguyur lokasi acara. Kirab yang dilaksanakan di bawah rinai gerimis, tidak hanya menghadirkan hiburan tapi juga sebagai pengingat sejarah kebesaran Kabupaten Ponorogo.

Rabu, 05 September 2018

Dawet Jabung

Dawet Jabung


Dawet Jabung yang berasal dari Desa Jabung, Ponorogo. Es Dawet atau juga dikenal Es Cendol ini memiliki cita rasa yang khas. Pasti sudah tahu cendol, maka saya tidak akan membahas cendol. Dawet Jabung ini berisi santan, garam, dan gula aren yang biasanya dicampur dengan nangka sehingga menambah kelegitan dari gula aren itu. Kemudian isiannya adalah tape dari ketan hitam, cendol dari tepung aren dan nangka dari gula aren tadi.

Harganya cukup murah bila anda membeli di Jabung. Silahkan anda ke perempatan jabung untuk membelinya. Bila anda membeli di sana, harganya sekitar Rp2.500,00 per porsi. Penjual akan memberikan dawetnya kepada anda melalui sebuah tatakan. Namun anda harus mengambil mangkuknya saja. Karena menurut tradisi, bila seorang pria meminta tatakannya berarti pria itu berniat menyunting penjualnya. Dan bila penjualnya menyerahkan tatakan, berarti penjual bersedia dinikahi. Itu hanya tradisi.

Konon kemahsyuran dawet Jabung berkaitan erat dengan legenda warok Suromenggolo, yang terkenal sakti mandraguna dan merupakan tangan kanan Raden Bathoro Katong (Pendiri dan Bupati Pertama) yang juga anak dari Prabu Brawijaya V.

Diceritakan, suatu hari Warok Suromenggolo terlibat perang tanding melawan Jim Klenting Mungil yang menguasai gunung Dloka dan mempunyai pusaka andalan yaitu Aji dawet upas. Konon, ajian ini berbentuk cendol dawet yang terbuat dari mata manusia. Terkena ajian dawet upas seketika tubuh warok Suromenggolo menderita luka bakar dan ia pingsan seketika.

Warok Suromenggolo akhirnya ditolong oleh seseorang penggembala sapi bernama Ki Jabung. Setelah diguyur dawet buatan Ki Jabung, seketika luka yang diderita Warok Suromenggolo sembuh, bahkan dapat mengalahkan Jim Klenting Mungil dan Jim Gento. Sebagai ungkapan terima kasih, Warok Suromenggolo bersabda, kelak masyarakat desa Jabung akan hidup makmur karena berjualan dawet.

Atau bila anda ingin merasakan dawet jabung yang lebih enak dan lebih modern tanpa meninggalkan unsur Jabung, anda bisa ke Alun-alun Ponorogo dan mencari sebuah warung bertuliskan ‘Dawet Mak Mbing’. Pada dawet Mak Mbing ini, porsinya lebih besar dan ada tambahan gempol. Gempol merupakan bulatan bola yang terbuat dari tepung beras. Dan anda boleh mengambil dawet beserta tatakannya karena penjualnya punya banyak persediaan tatakan :D Tapi memang lebih mahal daripada dawet di desa Jabung. Kalau belum naik, harganya sekitar Rp4.500,00.

Sate Ayam

Sate Ayam Ponorogo


Sate Ponorogo adalah jenis sate yang berasal dari kota Ponorogo, Jawa Timur. Daging ayamnya sendiri sangat empuk dan bumbunya meresap. Sate Ponorogo berbeda daripada Sate Madura yang populer. Perbedaannya adalah pada cara memotong dagingnya. Dagingnya tidak dipotong menyerupai dadu seperti sate ayam pada umumnya, melainkan disayat tipis panjang menyerupai fillet, sehingga selain lebih empuk, gajih atau lemak pada dagingnya pun bisa disisihkan. Sate daging ayam dapat disajikan bersama dengan sate usus, kulit, dan telur ayam muda. Perbedaan berikutnya adalah sate Ponorogo melalui proses perendaman bumbu (di"bacem") agar bumbu meresap ke dalam daging. Sate daging, usus, dan kulit dibumbui dengan bumbu kecap dan minyak sayur.
Setelah bumbunya merata, sate dipanggang di atas pemanggang sate selama kurang lebih 3-5 menit. Alat pemanggang sate Ponorogo terbuat dari tungku (panggangan) yang terbuat dari tanah liat. Panggangan ini memiliki lubang di satu sisi untuk mengipas bara arang didalamnya. Setelah berwarna kecoklatan, semua sate diletakkan di atas piring untuk dibumbui lagi dengan Bumbu Spesial. Setelah matang, sate dilumuri dengan bumbu kacang yang ditumbuk halus.
Sulit menemui restoran atau penjual Sate Ayam Ponorogo di luar kota asalnya di Jawa Timur ini, selain belum tentu menemui kesamaan cita rasa aslinya. Meskipun demikian beberapa warung atau restoran yang menyajikan sate Ponorogo dapat ditemukan di Surabaya dan Jakarta.

Gethuk Golan

Gethuk Golan


Sekitar 5KM dari pusat Kota ponorogo, terdapat sebuah desa yang terkenal denjgan kuliner gethuknya, yakni Desa Golan Kecamatan Sukorejo Kabupaten Ponorogo.
Sejak dulu dan sudah turun temurun penduduk desa Golan membuat dan menjual gethuk ini. Gethuk yang di buat masyarakat desa Golan masih gethuk murni berwarna putih berbahan utama singkong tanpa ada tambahan gula merah. Namun berdeba dengan dulu, saat ini hanya tinggal sekitar 12 orang yang masih bertahan memproduksi dan menjual Gethuk Golan.
Dari segi tampilan dan rasa, getuk Golan memang berbeda dari getuk biasa. Jika getuk biasa adalah olahan singkong yang ditumbuk bersama gula jawa,getuk Golan disajikan bersama ketan/jadah ,taburan parutan kelapa dan cairan gula kelapa yang manis.
Daya tarik kedua adalah dari segi harga yang cukup murah hanya dengan merogoh kocek sebesar 1000 Rupiah saja kita bisa menikmatai lezatnya gethuk golan. Di sajikan di atas daun pisang, tampilan tradisional sangat kental dirasakan.

Gunung Bayangkaki

Pesona Keindahan Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo

 Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo adalah salah satu tempat wisata yang berada di Desa Temon, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia. Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo adalah tempat wisata yang ramai dengan wisatawan pada hari biasa maupun hari liburan. Tempat ini sangat indah dan bisa memberikan sensasi yang berbeda dengan aktivitas kita sehari hari. Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo memiliki pesona keindahan yang sangat menarik untuk dikunjungi. Sangat di sayangkan jika anda berada di kota Ponorogo tidak mengunjungi wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo yang mempunyai keindahan yang tiada duanya tersebut.
Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo sangat cocok untuk mengisi kegiatan liburan anda, apalagi saat liburan panjang seperti libur nasional, ataupun hari ibur lainnya.  Keindahan wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo ini sangatlah baik bagi anda semua yang berada di dekat atau di kejauhan untuk merapat mengunjungi tempat wisata Gunung Bayangkaki di kota Ponorogo.

Lokasi

Dimana lokasi Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo ? seperti yang tertulis di atas lokasi terletak di Desa Temon, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia. Tetapi jika anda masih bingung di mana lokasi atau letak Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo saya sarankan anda mencari dengan mengetik Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo di search google maps saja. Di Google maps sudah tertandai dimana lokasi yang anda cari tersebut.

Daya Tarik
Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo merupakan tempat wisata yang harus anda kunjungi karena pesona keindahannya tidak ada duanya. Penduduk lokal daerah Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo juga sangat ramah tamah terhadap wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Kota Ponorogo juga terkenal akan Wisata Gunung Bayangkaki di Ponorogo  yang sangat menarik untuk dikunjungi.
Bayangkaki adalah gunung yang tidak aktif  yang memiliki keindahan alam yang luar biasa sekaligus menyimpan mitos-mitos yang berbau mistis yang masih dipercaya hingga sekarang. Bayangkaki terdiri dari empat puncak. Urutan puncak jika dilihat dari sebelah utara adalah sebagai berikut, paling timur bernama puncak atau gunung Ijo, puncak yang kedua bernama puncak atau Gunung Tuo, yang nomor tiga bernama Puncak Tumpak atau Puncak Bayangkaki kemudian yang ujung barat dinamakan puncak atau gunung Gentong.
Di balik indahnya alam dan kokohnya batu-batu besar yang menjulang tersebut, Bayangkaki memiliki keunikan - keunikan dan masih diselimuti dengan hal-hal dan sekaligus mitos yang terus berkembang dalam masyarakat sampai sekarang. Dibalik mitos mistis yang menyelimuti bayangkaki, Bayangkaki memiliki keindahan alam yang luar biasa.

 

Goa Lowo

Goa Lowo Ponorogo
Goa Lowo ini bisa menjadi salah satu wahana edukasi yang tepat untuk belajar sejarah bersama anak dan keluarga.
Ketika berkunjung ke Goa di Sampung ini, anda akan dimanjakan oleh pernak-pernik peninggalan sejarah. Sehingga anda tidak perlu jauh-jauh untuk pergi daerah Trinil, Ngawi. Dengan begitu anda maupun keluarga bisa berwisata sambil menambah ilmu pengetahuan.
Lokasi Goa Lowo Sampung, Ponorogo memang di bawah bukit sehingga terasa sangat asri. Anda tidak akan bisa melihat Goa Lowo ini dari depan, sebab terhalang oleh banyak kayu berukuran besar. Ia memiliki bentuk yang eksotis, meskipun ukurannya cenderung melebar dan tidak terlalu dalam. Sehingga sepertinya tidak mengapa jika goa ini dikatakan sebagai ceruk besar. Pada sisi kiri goa, terdapat sejenis ceruk agak dalam yang ketik anda memasukinya terdapat tetesan air dari atap goa. Untuk itu anda harus berhati-hati saat memasukinya sebab tetesan air itu membuat bagian lantai gua menjadi licin. Bagian tengah goa dapat menampung hingga puluhan orang karena ukurannya yang cukup lebar.
Sementara bagian kanan goa adalah bagian goa yang cukup menarik. Pasalnya beberapa tahun lampau lokasi tersebut pernah diadakan penggalian kerangka manusia purba. Hasil penggalian sebagian telah dibawa ke Jakarta. Bekas penggalian tersebut masih tampak hingga kini.

Menapaki peninggalan masa purba di Goa Lowo Sampung Ponorogo

Di Goa Lowo ini begitu banyak ditemukan berbagai tulang-belulang dari manusia purba sebagaimana yang ditemukan di daerah Trinil, Kabupaten Ngawi dan Wajak di Kabupaten Tulungagung. Sehingga tidak heran jika lokasi obyek wisata ini sering dijadikan lokasi penelitian bagi para mahasiswa yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Goa Lowo mempunyai tinggi langit-langit sekitar 11 m, panjang 26 m da lebar 27 m. Goa ini terbagi menjadi 4 ruangan yaitu: ruang semedi, ruang raja rahman senduk, ruang kursi batu dan ruang batu candi. Setiap ruangan di goa ini memiliki sejarah masing-masing. Di situlah para mahasiswa melakukan penelitian meliputi penggalian tanah untuk melihat sedimentasi tanahnya dan serpihan tulang.
Sebelumnya di setiap ruangan ditemukan banyak tulang-belulang manusia purba. Bahkan di halaman goa juga masih ditemukan banyak serpihan atau kepingan tulang-tulang dari manusia purba. Menurut Peneliti Belanda, dahulu manusia purba tersebut memang ada yang dituakan sehingga tulangnya terdapat di dalam gua. Sementara penjaga (pengikut) atau prajurit berada di halaman gua.
Dr. Van Stein Callenfels pernah meneliti Goa Lowo yang bernilai arkeologis tinggi ini pernah melakukan penelitian pada 1928-1931. Hasil kesimpulannya, Goa cantik menawan ini tergolong Abris Sous Roche. Yang berarti goa sebagai tempat tinggal dan berlindung para manusia purba di jaman Mesolithikum dari binatang buas dan perubahan cuaca.

Lokasi Goa Lowo Sampung Ponorogo

Untuk anda yang tertarik mengunjungi Goa Lowo ini anda bisa menuju lokasinya di hutan jati di Dusun Boworejo, Desa Sampung, kecamatan Sampung, Kabupaten Ponorogo. Jika dari pusat kota jaraknya hanya sekitar 25 km. Lokasi Goa Lowo ini berada di sekitar 1 km dari jalan raya Sampung. Memang ketika memasuki obyek wisata ini anda belum bisa menemukan gerbang masuk.

Gajah-Gajahan

Kesenian Gajah Gajahan


Kesenian tradisional Gajah-gajahan pada dasarnya adalah seni jalanan ( street arts ) yang berbentuk arak-arakan terdiri atas sekelompok penari, pemusik clan penyanyi. Tokoh utamanya adalah patung gajah yang digotong oieh dua orang yang berada di dalam ‘tubuh’ gajah tersebut. Di atas patung gajah tersebut, duduk anak laki-laki usia pra akil baliq yang didampingi oleh seorang pembawa payung. Sementara itu, agar si Gajah bisa berjalan sesuai arah, dia didampingi oleh orang yang bedugas untuk menuntun Gajah tersbut. Di belakang gajah, berbaris para penari clan penyanyi yang diiringi oleh alunan musik hadroh yang instrumennya terdiri atas jedor, kendang, kenong, kentrung, dan kecer.
Sebagaimana seni pertunjukan rakyat lainnya a( a beberapa versi cerita tentang Seni Gajahgajahan. Pertama, ini mengisahkan tentang perjalanan Raja brahah (cerita yang dimuat dalam Al Qur’an) yang hendak menyerang Ka’bah. Karenanya, dalam pertunjukan tersebut digambarkan seorang yang berpakaian raja/Kafilah sedang mengendarai seecor gajah yang diiringi oleh para prajuritnya. Versi lain, seni ini menggambarkan tentang perjalanan seorang tokoh pendiri kabuaten Ponorogo yang hendak menyebarkan agama Islam di kabupaten Ponorogo.
Lepas dan kontroversi di atas, nuansa Islam memang terlihat kental dalam seni gajah-gajahan Itu telihat dan alat musik yang dimainkan maupun jenis musiknya yang umumnya berisi puji-pujian clan sholawat nabi. Memang, kesenian ini awal mulanya tumbuh di lingkungan pesantren, biasanya dipertunjukkan pada perayaan han besar Islam. Konon, seni rakyat ini muncul clan mendapat sambutan ketika pamor seni Reog mulai luntur. P3da masa pemerintahan Orde Lama pertunjukan kesenian Reog sering digunakan untuk alat propaganda politik terutama di kalangan Partai Komunis Indonesia. Seiring dengan kejatuhan PKI, kesenian Reog Ponorogo pun sempat mengalam titik nadir clan kehilangan pamornya. Dan pada saat yang bersamaan, muncullah kesenian baru yang Iebih bernafaskan Islam
Walaupun kesenian tradisional gajah-gajahan pemunculannya relatif masih muda dibanding dengan kesenian Reyog, kesenian ini mendapat tempat di kalangan masyarakat Ponorogo. Bahkan, dalam perkembangannya kesenian ini tidak hanya diminati oleh kalangan pesantren, namun juga masyarakat luas. Kesenian gajah-gajahan dewasa ini dipentaskan tidak hanya pada hari-hari besar Islam tapi juga pada saat merayakan pesta pribadi seperti Sunatan ataupun pernikahan. Demikian juga, pada saat pesta masyarakat Iainnya yang banyak mengundang konsentrasi masa seperti upacara bersih desa, ulang tahun kemerdekaan , dsb.
Seiring dengan hal itu, pengaruh ‘Budaya Populer’ pun terlihat pada kesenian Gajah-gajahan. Misalnya dengan dimasukkannya tokoh Banci dan lagu Dangdut dalam Kesenian tradisional ini. Masuknya unsur-unsur tersebut bisa menjadikan suasana lebih hidup dan lebih mengundang penonton ketika kesenian tersebut dipentaskan. Demikian juga, remaja laki-laki yang duduk di atas Gajah yang semula berpakaian ala Padang Pasir yang menggambarkan tokoh kalifah, bisa dimodifikasi menjadi tokoh lain seperti penari Jathil – tokoh penani yang terdapat pada Reog. Iringan musik nya pun juga Iebih bervariasi, bisa musik Qosidah, dangdut dsb, menyesuaikan din dengari sift, si dan tempat di mana kesenian tersebut dipentaskan.
Memang, sebagai bagian dari kebudayaan, kesenian bersifat dinamis mengikuti perkembangan masyarakatnya. Demikian puIa Kesenian Gajah-gajahan. Apabila pada masa pemunculannya nuansa Islam clan padang pasir sangat lekat, pada saat sekarang identitas tersebut berbaur dengan Budaya masa kini (pop art) sehingga mungkin saja bila kesenian mi masih bisa eksis, pada sekian puluh tahun mendatang, kita melihat seorang wanita berpakaian bikini berlenggak-lenggok di atas gajah dengan diiringi lagu latin! Astaghafirullah alaziim.
– Keling
Kesenian yang ada sejak tahun 1942 ini bermaksud mengingatkan saat masyarakat merasakan penderitaan ketika dijajah ceh Bangsa Jepang. Dalam sajian tari, kesenian mengisahkan tentang dua Putri dan Kerajaan Ngerum yang diculik oleh Bagaspati dan Kerajaan Tambak Kehing. Namun akhirnya dapat diselamatkan oeh Jok0 Tawang dan Padepokan Waringin Putih.
– Jaran Thik
Kesenian Jaranan thik menggambarkan tentang perjalanan hidup manusia yang diwarnai dengan cobaan, ataupun kemampuan dalam melawan hawa nafsu. Balk yang berasal dan luar maupun dalam din manusia itu sendiri.
– Odrot
Merupakan kesenian peninggalan Jawa penjajahan Belanda yang hidup clan berkembang di Ponorogo. Kesenian ini merupakan seni pertunjukan musik yang menggunakan instrument pokok berupa terompet.
– Thekthur
Kesenian yang penyajiannya dalan musikal bentuk ini terbuat dan bambu dan awalnya merupakan sarana penggalang masa bagi masyarakat dalam menjaga keamanan Iingkunganny’adanpada perkembangannya dijadikan sarana membangunkan orang untuk makan sahur bagi yang menjaankan ibadah puasa.
– Terbangan
Kesenian ini hidup dan berkembang sebagai jenis yang Iebih banyak digunakan sebagal sarana kegiatan keagamaan an dengan nuansa Islami dalam bentuk lagu-lagu pujian ataupun sholawatan.
– Kongkil
Kesenian yang diperkirakan lahir tahun 1928 ini berupa instrument musik berupa seperangkat Angklung yang terbuat dan bambu iilihan. Awalnya yang ditampilkan berupa Iagu- lagu gending Jawa dan digunakan pada upacara adapt bersih desa maupun had besar, namun daam perkembangannya dipadau dengan instrument Reyog untuk kebutuhan iringan fragmen tari.
– Gong Gumbeng
Kesenian ini lahir saat transisi masuknya budaya keraton ke masyarakat pedesaan. Instrument terbuat dan bambu yang dibuat disesualkan dengan menyesuaikan nada gamelan. Kesenian ini juga digunakan pada upacara adat bersih desa maupun peringatan han-han besar dan dalam perkembangan juga untuk kebutuhan hiburan.

Senin, 03 September 2018

Reog Obyok

Reog Obyok

Pertunjukan Reog memang selalu menyita perhatian orang-orang karena tariannya yang sangat amat lincah. Ditambah lagi dengan penampilan Warok atau topeng yang besar, menjadikan ikon dari penampilan Reog tersebut.
Dalam pementasannya, Reog Obyok justru dilakukan di jalan. Musik pengiring dalam pementasan Reog ini lebih bebas. Banyak mengadopsi lagu daerah bahkan dalam prakteknya, juga dicampur dengan musik dangdut dan alunan alat musik tradisional khas Reog. Dari iringan musik ini pula, banyak orang yang menganggap asal mulanya nama Reog Obyok. Istilah Obyok berasal dari kata “byok-byok” sebuah istilah khas Ponorogo yang diucapkan berulang kali, sehingga menimbulkan arti kacau, “pecah”, atau meriah seperti yang terjadi pada Reog Obyok.
Perbedaan utama dari Reog Tradisional dengan Reog Obyok adalah, selain terletak pada frekuensi pagelarannya, dan dari perubahan formasi pemainnya. Iringan music, dan tempat pertunjukan juga membedakan dari Reog Trasdisional dan Reog Obyok. Pada Reog Tradisional terdiri dari formasi yang lengkap (Jathil, Bujang Ganong, Warok, Dadak Merak, dan Klono Sewandono), lain halnya dengan Reog Obyok. Dan pada Reog Obyok, formasi hanya terdiri dari Jathil, Dadak Merak, dan Bujang Ganong. Dengan formasi lebih sederhana ini, diharapkan para seniman Reog dapat lebih banyak mendapat tanggapan pentas dari orang yang mempunyai acara seperti, pernikaham, khitanan, syukuran, dan yang lainnya.

Dibawah ini merupakan sedikit penjelasan tentang Jathil, Bujang Ganong, dan Dadak Merak

1. Jathil 

Para penari jathil pada Reog Tradisional, biasanya dimainkan oleh kaum pria dengan memainkan adegan loncat-loncat dengan kuda kepang, perang-perangan, sampai aksi heroic, tetapi berbeda halnya dengan Reog Obyok. Biasanya penari jathil dimainkan oleh para gadis dengan gerakan lemah gemulai tanpa membawa kuda kepang dan mereka akan menari sesuai dengan music yang dimainkan. Contohnya, music jaipongan, mereka akan memainkan gerak tari jaipong. Hal tersebut yang menjadikan daya tarik tersendiri dari Reog Obyok.

2. Ganongan

Peran bujang ganong dalam Reog Obyok, biasanya dimainkan oleh anak-anak dan tidak selalu ada dalam setiap pagelaran. Peran Bujang Ganong pada pementasan Reog Tradisonal adalah seorang Patih dari Prabu Klono Sewandono yang dipercaya untuk melamr Dewi Songgolangit ke Kediri. Ada juga yang menceritakan bahwa perannya sebagai kritikus bagi Raja Bre Kertabumi saat memimpin kerajaan yang jenaka, dan lebih banyak menampilkan tarian khas bujang ganong yang menghibur penonton khususnya anak-anak.

3. Dadak Merak

Dadak Merak atau Barongan merupakan ikon utama Reog. Sehingga, menurut para seniman Reog, peran Dadak Merak harus tetap dipentaskan dalam Reog Obyok. Jika selama ini kita tahu, bahwa dadak merak adalah sebuah simbol yang berisi kritikan bagi Raja Bre Kertabumi yang gaya kepemimpinannya didikte oleh Permaisurinya, serta versi lain menyebutkan bahwa barongan merupakan dua binatang yang satu tubuh (harimau dan burung merak) sebagai persyaratan Dewi Songgolangit untuk menerima lamaran dari Prabu Klono Sewandono. Namun, pada Reog Obyok peran Dadak Merak adalah sebagai simbol kekuatan. Hal ini mengingat para pembarong yang memainkan bagian ini, memerlukan latihan rutin agar dapat memainkan dadak merak dengan cara menggigit.

Jumat, 31 Agustus 2018

Reog Ponorogo

Reog Ponorogo


Sebenarnya ada lima macam versi cerita yang terkenal dari asal usul reog dan warok ini. Cerita yang paling terkenal adalah tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu yang merupakan seorang abdi kerajaan ketika masa Bhre Kertabhumi, merupakan raja kerajaan Majapahit yang terakhir, di mana berkuasa pada abad 15. Ki Ageng Kutu marah besar karena pengaruh yang kuat dari pihak istri raja kerajaan Majapahit yang asalnya dari Cina. Selain hal itu, ia juga murka kepada rajanya sendiri yang dalam menjalankan pemerintahannya banyak terjadi korupsi. Ia dapat memastikan bahwa kekuasaan dari kekuasaan kerajaan Majapahit akan segera berakhir.
Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan sang raja lalu ia mendirikan perguruan, yang mana ia sendiri yang mengajar ilmu kekebalan diri, seni bela diri anak-anak muda,serta ilmu kesempurnaan hidup dengan menaruh harapan bahwa mereka inilah calon bibit-bibit kebangkitan kerajaan Majapahit yang mulai runtuh. Mungkin tersadar bahwa pasukannya terlalu lemah dan kecil untuk diadu melawan pasukan dari kerajaan. Maka, pesan politis dari Ki Ageng Kutu ini hanya disampaikannya melalui pertunjukan seni Reog Ponorogo. Hal ini juga bisa berarti “sindiran” kepada Raja Kertabhumi serta kerajaannya.


Pagelaran Reog Ponorogo ini menjadi cara dan strategi Ki Ageng Kutu untuk membangun perlawanan masyarakat local dengan menggunakan kepopuleran Reog. Dalam pertunjukan Reog, juga ditampilkan topeng dengan bentuk kepala singa yang biasa dikenal sebagai “Singa barong”, raja hutan, yang menjadikannya simbol Kertabhumi. Pada bagian atas, ditancapkannya bulu-bulu merak sampai benar-benar menyerupai kipas yang raksasa dengan menyimbolkan pengaruh kuat dari para rekan Cinanya serta mengatur atas segala gerak-gerik yang dilakukannya.
Jatilan, merupakan peranan oleh gemblak yang mana menunggangi kuda-kudaan, sehingga menjadi simbol kekuatan dari pasukan Kerajaan Majapahit di mana menjadi perbandingan yang sangat kontras antar kekuatan warok. Sementara itu, yang berada di balik topeng dengan badut merah yang menyimbolkan Ki Ageng Kutu, sendirian serta menopang berat topeng singabarong tersebut hingga mencapai lebih 50 kg hanya dengan mengandalkan giginya. Kepopuleran dari Reog Ki Ageng Kutu ini akhirnya dapat menyebabkan Bhre Kertabhumi segera mengambil tindakan lalu menyerang perguruan Ki Ageng Kutu, pemberontakan ini oleh warok dengan sigap cepat dileraikan, sehingga menyebabkan perguruan dilarang akan melanjutkan pengajarannya akan warok.


Namun, ternyata murid-murid Ki Ageng kutu ini tetap juga melanjutkan ajaran ini namun secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Meskipun begitu, kesenian Reog tersebut dengan sendirinya masih diperbolehkan untuk acara pementasan, karena kesenian ini telah menjadi pertunjukan yang populer di antara kaum masyarakat. Namun, jalan dari ceritanya memiliki alur yang baru yang mana ditambahkan dengan karakter-karakter yang dimiliki dari cerita rakyat daerah Ponorogo diantaranya, Dewi Songgolangit, Kelono Sewandono,serta Sri Genthayu. Hingga saat ini, masyarakat Ponorogo masih dan hanya mengikuti apa yang telah menjadi warisan leluhur warisan budaya yang kaya. Seni Reog Ponorogo ini merupakan cipta dari kreasi manusia dalam aliran kepercayaan secara turun temurun dan masih dilestarikan. Reog Ponorogo.
Warok
Warok sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya. Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan kemanusiaan yang sejati.

Warok dalam pertunjukan Reog Ponorogo  


Warok adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom, sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Hingga saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).
Syarat menjadi Warok
Warok harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Gemblakan
Selain segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya muncul disebut dengan Gemblakan. Dahulu warok dikenal mempunyai banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.